
Kawasan Asia Tenggara telah menghadapi tantangan serius dari ekstremisme berbasis kekerasan selama beberapa dekade terakhir. Dari insiden bom Bali hingga pemberontakan di Marawi, ancaman ekstremisme terus berkembang dan beradaptasi. ASEAN, sebagai badan regional utama, telah mengambil peran penting dalam mengkoordinasikan respons terhadap ancaman ini. Artikel ini menganalisis strategi komprehensif ASEAN dalam penanganan ekstremisme, kolaborasi antarnegara, dan tantangan yang masih dihadapi dalam upaya menjaga keamanan regional.
Pertemuan tingkat tinggi ASEAN membahas strategi penanganan ekstremisme di kawasan Asia Tenggara
Latar Belakang Ancaman Ekstremisme di ASEAN
Kawasan Asia Tenggara telah menjadi target dan basis operasi bagi berbagai kelompok ekstremis. Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Indonesia, periode 2020-2023 mencatat lebih dari 120 insiden terkait ekstremisme berbasis kekerasan di kawasan ini. Kelompok-kelompok seperti Jemaah Islamiyah, Abu Sayyaf, dan sel-sel terafiliasi ISIS telah menimbulkan ancaman serius terhadap keamanan regional.
Deputi Bidang Kerja Sama Internasional BNPT, Andhika Chrisnayudhanto, dalam pertemuan Dialog ASEAN-Australia tentang Penanggulangan Terorisme menyatakan, “Ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme terus berkembang dan beradaptasi dengan teknologi dan situasi global.” Kondisi ini menuntut respons yang terkoordinasi dari seluruh negara anggota ASEAN.

Peta sebaran kelompok ekstremis aktif di kawasan ASEAN (2020-2023)
“Untuk memperkuat, memperluas dan mempercepat dampak program terkait upaya pencegahan dan penanganan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, dibutuhkan kerja sama yang erat antar negara ASEAN.”
Strategi ASEAN dalam Penanganan Ekstremisme
ASEAN telah mengembangkan pendekatan multi-dimensi untuk menangani ekstremisme di kawasan. Pendekatan ini mencakup kerangka hukum, kerja sama intelijen, program deradikalisasi, dan upaya pencegahan yang komprehensif.
Rencana Aksi Regional ASEAN (2018-2025)
Pada tahun 2018, ASEAN meluncurkan Rencana Aksi Regional untuk Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan (2018-2025). Rencana ini menetapkan kerangka kerja komprehensif yang mencakup lima pilar utama:

Lima pilar Rencana Aksi Regional ASEAN untuk Penanggulangan Ekstremisme (2018-2025)
Kerja Sama Intelijen dan Pertukaran Informasi
Salah satu aspek penting dari strategi ASEAN adalah peningkatan kerja sama intelijen antar negara anggota. Forum Antarmenteri ASEAN untuk Kejahatan Lintas Batas Negara (SOMTC) telah menjadi wadah utama untuk koordinasi ini. Melalui Kelompok Kerja Bidang Pemberantasan Terorisme, negara-negara ASEAN berbagi informasi intelijen dan praktik terbaik dalam mengidentifikasi dan mencegah aktivitas ekstremis.
Indonesia, sebagai ketua patron (lead shepherd) di bidang penanggulangan terorisme dalam forum ASEAN SOMTC, memainkan peran kunci dalam memperkuat kerja sama ini. Sekretaris NCB Interpol Indonesia, Brigjen Pol Amur Chandra, menekankan pentingnya pertukaran informasi ini: “Dari kacamata Polri, pertemuan ini tentunya hal positif. Australia selalu memberikan dukungan, terutama setelah peristiwa bom di Bali 2002.”
Program Deradikalisasi dan Pencegahan
ASEAN juga menekankan pentingnya program deradikalisasi dan pencegahan. Indonesia Knowledge Hub (I-KHub) yang diinisiasi oleh BNPT telah menjadi platform koordinasi antar aktor Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan (P/CVE) di Indonesia dan kawasan.
Salah satu program yang dinilai berhasil adalah Strive Juvenile, yang dilaksanakan sejak 2021 dengan dukungan Uni Eropa. Program ini berfokus pada penanganan anak-anak yang terkait dengan terorisme dan telah mendapat dukungan tambahan dari Australia dan Kanada melalui program lanjutan “Preventing and Responding to Child Association with Terrorist Groups 2024-2026”.

Program deradikalisasi untuk generasi muda di negara-negara ASEAN
Pelajari Lebih Lanjut Tentang Inisiatif ASEAN
Dapatkan informasi terkini tentang upaya ASEAN dalam penanganan ekstremisme dan program-program pencegahan yang sedang berjalan di kawasan.
Kolaborasi Antarnegara dalam Penanganan Ekstremisme
Kerja sama antarnegara menjadi kunci dalam menangani ekstremisme yang bersifat lintas batas. Beberapa inisiatif kolaboratif yang telah dilaksanakan di kawasan ASEAN menunjukkan efektivitas pendekatan regional.
Patroli Terkoordinasi di Wilayah Perbatasan
Salah satu contoh kolaborasi yang efektif adalah patroli terkoordinasi antara Filipina, Malaysia, dan Indonesia di perairan Laut Sulu. Inisiatif Trilateral Patrol yang dimulai pada 2017 telah berhasil mengurangi pergerakan kelompok ekstremis di wilayah perbatasan ketiga negara. Data dari Kementerian Pertahanan Indonesia menunjukkan penurunan 65% insiden pembajakan dan penculikan oleh kelompok ekstremis di perairan ini sejak patroli dimulai.

Patroli terkoordinasi Indonesia-Malaysia-Filipina di perairan Laut Sulu
Pertukaran Informasi dan Basis Data Terpadu
ASEAN telah mengembangkan sistem pertukaran informasi terpadu untuk melacak pergerakan individu yang dicurigai terlibat dalam aktivitas ekstremis. Sistem Electronic ASEAN Database on Counter Terrorism (e-ADCT) memungkinkan negara-negara anggota untuk berbagi data secara real-time tentang individu yang masuk dalam daftar pengawasan.
Menurut laporan Sekretariat ASEAN tahun 2022, sistem ini telah membantu mengidentifikasi lebih dari 300 individu yang dicurigai terlibat dalam jaringan ekstremis transnasional dan mencegah pergerakan mereka di kawasan.
Kerja Sama dengan Mitra Dialog
ASEAN juga memperkuat kerja sama dengan negara-negara mitra dialog, seperti Australia, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Dialog Ke-4 ASEAN-Australia Counter Terrorism yang digelar di Jakarta pada Mei 2023 menjadi contoh nyata dari kerja sama ini.
Duta Besar Australia untuk Isu Penanggulangan Terorisme, Gemma Huggins, menegaskan komitmen negaranya: “Asia Tenggara penting secara strategis bagi masa depan Australia, sehingga dibutuhkan kawasan yang stabil di mana ASEAN memainkan peran utama. Australia mendukung inisiatif yang dipimpin ASEAN dalam mengatasi tantangan transnasional, termasuk terorisme.”

Pertemuan ASEAN-Australia Counter Terrorism Dialogue di Jakarta, Mei 2023
Studi Kasus: Pendekatan Berbeda dalam Penanganan Ekstremisme
Negara-negara ASEAN menerapkan pendekatan yang bervariasi dalam menangani ekstremisme, sesuai dengan konteks dan tantangan spesifik yang dihadapi. Dua pendekatan yang kontras dapat dilihat dari Indonesia dan Filipina.
Indonesia: Deradikalisasi Berbasis Komunitas
Indonesia menerapkan pendekatan deradikalisasi berbasis komunitas yang menekankan rehabilitasi dan reintegrasi. Program ini melibatkan tokoh agama, mantan ekstremis yang telah direhabilitasi, dan organisasi masyarakat sipil dalam proses deradikalisasi.
BNPT Indonesia telah mengembangkan program komprehensif yang mencakup:
Hasil evaluasi BNPT menunjukkan tingkat keberhasilan 78% dalam mencegah mantan narapidana terorisme kembali ke jaringan ekstremis.
Filipina: Pendekatan Operasi Militer
Filipina cenderung menerapkan pendekatan yang lebih berorientasi pada operasi militer, terutama dalam menghadapi kelompok seperti Abu Sayyaf dan Maute Group yang berafiliasi dengan ISIS. Pendekatan ini mencakup:
Meskipun berhasil merebut kembali wilayah seperti Marawi pada 2017, pendekatan ini menghadapi kritik terkait dampaknya terhadap masyarakat sipil dan potensi pelanggaran HAM.

Perbandingan pendekatan Indonesia (kiri) dan Filipina (kanan) dalam penanganan ekstremisme
Kedua pendekatan ini menunjukkan kompleksitas dalam menangani ekstremisme dan pentingnya menyesuaikan strategi dengan konteks lokal. ASEAN berperan sebagai platform untuk berbagi pengalaman dan praktik terbaik dari berbagai pendekatan ini.
“Ketahanan masyarakat menjadi hulu dalam penanggulangan terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan. Tanpa ketahanan ini, upaya penindakan hanya akan mengatasi gejala, bukan akar masalah.”
Tantangan dalam Penanganan Ekstremisme di Kawasan ASEAN
Meskipun telah mencapai kemajuan signifikan, ASEAN masih menghadapi berbagai tantangan dalam upaya penanganan ekstremisme di kawasan.
Migrasi Lintas Batas dan Pejuang Teroris Asing
Pergerakan Pejuang Teroris Asing (Foreign Terrorist Fighters/FTF) melalui perbatasan yang porous di kawasan ASEAN menjadi tantangan serius. Menurut data dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), lebih dari 1.000 warga negara dari kawasan Asia Tenggara telah bergabung dengan kelompok ekstremis di Timur Tengah, dan sebagian dari mereka telah kembali ke kawasan dengan pengalaman tempur dan jaringan internasional.
Tantangan ini diperburuk dengan perbatasan laut yang luas dan sulit diawasi, serta sistem imigrasi yang belum sepenuhnya terintegrasi di seluruh negara ASEAN.

Peta jalur pergerakan ekstremis lintas batas di kawasan ASEAN (2020-2023)
Perbedaan Kerangka Hukum Antarnegara
Perbedaan dalam kerangka hukum dan definisi terorisme di antara negara-negara ASEAN menyulitkan koordinasi dan kerja sama yang efektif. Beberapa negara memiliki undang-undang anti-terorisme yang komprehensif, sementara yang lain masih dalam proses pengembangan kerangka hukum yang memadai.
Harmonisasi kerangka hukum menjadi prioritas dalam agenda ASEAN, namun kemajuannya terhambat oleh perbedaan sistem hukum dan pertimbangan kedaulatan nasional.
Isu Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Sipil
Upaya penanggulangan ekstremisme sering kali berbenturan dengan isu hak asasi manusia dan kebebasan sipil. Undang-undang anti-terorisme yang terlalu luas dapat disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berserikat. Organisasi hak asasi manusia telah mengkritisi beberapa pendekatan yang dianggap terlalu represif dan berpotensi melanggar hak-hak dasar.
ASEAN menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan kebutuhan keamanan dengan perlindungan hak asasi manusia, sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Deklarasi HAM ASEAN.

Tiga tantangan utama dalam penanganan ekstremisme di kawasan ASEAN
Tantangan Baru: Ekstremisme Online
Perkembangan teknologi digital telah menciptakan tantangan baru dalam bentuk radikalisasi online. Kelompok ekstremis memanfaatkan media sosial dan platform digital untuk menyebarkan propaganda, merekrut anggota baru, dan mengkoordinasikan aktivitas mereka. ASEAN telah mulai mengembangkan strategi untuk menangani ekstremisme online, termasuk kerja sama dengan platform teknologi dan pengembangan kontra-narasi.
Rekomendasi untuk Penguatan Penanganan Ekstremisme di ASEAN
Berdasarkan analisis terhadap strategi yang ada dan tantangan yang dihadapi, berikut beberapa rekomendasi untuk memperkuat upaya ASEAN dalam penanganan ekstremisme:
Penguatan Kerangka Hukum Regional
ASEAN perlu mempercepat harmonisasi kerangka hukum terkait penanganan ekstremisme di kawasan. Ini mencakup pengembangan definisi bersama tentang terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan, serta standar minimum untuk undang-undang anti-terorisme yang menghormati hak asasi manusia.
Pembentukan mekanisme review bersama untuk mengevaluasi efektivitas kerangka hukum di masing-masing negara anggota juga dapat membantu mengidentifikasi kesenjangan dan area yang perlu diperkuat.
Peningkatan Pendidikan Multikultural dan Toleransi
Pendidikan multikultural dan promosi toleransi harus menjadi komponen inti dari strategi pencegahan jangka panjang. ASEAN dapat mengembangkan kurikulum bersama tentang keberagaman dan toleransi yang dapat diadaptasi oleh sistem pendidikan di masing-masing negara anggota.
Program pertukaran pemuda antar-negara ASEAN juga dapat memperkuat pemahaman lintas budaya dan membangun ketahanan terhadap narasi ekstremis yang mempromosikan kebencian dan perpecahan.

Program pendidikan multikultural sebagai strategi pencegahan ekstremisme di sekolah-sekolah ASEAN
Penguatan Ketahanan Masyarakat
Membangun ketahanan masyarakat terhadap ekstremisme harus menjadi prioritas. Ini mencakup pemberdayaan tokoh agama, pemimpin komunitas, dan organisasi masyarakat sipil untuk mempromosikan nilai-nilai perdamaian dan toleransi.
ASEAN dapat mengembangkan program regional untuk melatih “duta perdamaian” di tingkat komunitas yang dapat mendeteksi tanda-tanda awal radikalisasi dan melakukan intervensi tepat waktu.
Pemanfaatan Teknologi untuk Pencegahan
ASEAN perlu meningkatkan pemanfaatan teknologi dalam upaya pencegahan dan penanganan ekstremisme. Ini mencakup pengembangan platform digital untuk kontra-narasi, sistem peringatan dini berbasis AI untuk mendeteksi konten ekstremis online, dan database terpadu untuk melacak pergerakan individu yang dicurigai.
Kerja sama dengan perusahaan teknologi global juga penting untuk memastikan platform digital tidak disalahgunakan untuk menyebarkan ideologi ekstremis.

Pemanfaatan teknologi AI untuk deteksi konten ekstremis online
Dukung Upaya Pencegahan Ekstremisme
Ketahanan masyarakat adalah kunci dalam mencegah penyebaran ekstremisme. Pelajari bagaimana Anda dapat berkontribusi dalam upaya pencegahan di komunitas Anda.
Kesimpulan
ASEAN telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam penanganan ekstremisme di kawasan melalui berbagai inisiatif dan kerja sama. Rencana Aksi Regional, kerja sama intelijen, dan program deradikalisasi telah memberikan kontribusi signifikan dalam mengurangi ancaman ekstremisme berbasis kekerasan.
Namun, tantangan yang kompleks seperti migrasi lintas batas, perbedaan kerangka hukum, dan isu hak asasi manusia memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan terkoordinasi. Penguatan kerangka hukum regional, peningkatan pendidikan multikultural, dan pemanfaatan teknologi untuk pencegahan menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini.
Sebagai kesimpulan, penanganan ekstremisme di kawasan ASEAN memerlukan pendekatan yang seimbang antara upaya keamanan dan pencegahan jangka panjang. Kerja sama regional yang kuat, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta, akan menjadi faktor penentu keberhasilan dalam menciptakan kawasan ASEAN yang aman, damai, dan tangguh terhadap ancaman ekstremisme.

Kolaborasi multistakeholder: Kunci keberhasilan penanganan ekstremisme di ASEAN